Note of life:

“You only live once, but if you do it right, once is enough.”
-Mae West

Minimalisir Gas Emisi Rumah Kaca dengan Perbaikan Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota

Sabtu, 11 Desember 2010 | Ayun

Kurrataa’yun
G34090105
Institut Pertanian Bogor
FMIPA – BIOLOGI

Dewasa ini isu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan tengah mem-booming di dunia. Hal ini terlihat dari merebaknya isu dan perdebatan tentang perdagangan karbon ‘carbon trade’ serta global warming yang tengah berkembang beberapa tahun terakhir. Hal tersebut dipacu oleh kesadaran warga dunia akan pentingnya lingkungan. Setelah era IPTEK berkembang, kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sepertinya terabaikan. Produk-produk dan teknologi yang berkembang cenderung tidak ramah lingkungan. Meningkatnya polusi disebabkan oleh pembangunan tampak dari polusi yang meningkat akibat pabrik-pabrik yang mengeluarkan emisi dan racun berbahaya untuk lingkungan. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat cenderung mendorong masyarakat untuk mengonsumsi produk-produk yang tidak ramah lingkungan dan aktivitas masyarakat pun cenderung menghasilkan gas rumah kaca, yaitu CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, dan SF6. Apabila kita beralih ke Jakarta, sebagai ibukota Republik Indonesia, pemandagan gedung-gedung kaca yang menjulang tinggi sudah menjadi hal yang biasa. Padahal, dengan pembangunan gedung berbahan kaca akan sangat membantu perusakan lapisan ozon pada lapisan toposfer di atmosfer.
Sebagaimana yang diketahui, pengaruh global warming begitu mengerikan. Hal tersebut telah diramalkan oleh ahli geografi dan klimatologi pada negara maju. Salah satu bentuk ramalannya telah dimuat dalam film “The Day After Tomorrow”, sebuah film yang disutradarai oleh Rolland Emmerich yang menggambarkan dahsyatnya dampak dari global warming. Global warming merupakan suatu fenomena alam meningkatnya temperatur rata-rata bumi. Hal tersebut diakibatkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca pada bumi sehingga menyebabkan akumulasi panas di atmosfer yang mempengaruhi sistem iklim global. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global akan menimbulkan dampak negatif, antara lain mencairnya lapisan es terutama di kutub utara dan selatan yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Akibatnya, volume lautan meningkat dan permukaannya naik sekitar 9-100 sentimeter. Pakar dampak perubahan iklim yang tergabung dari panel ilmuwan internasional IPCC, memperkirakan pemanasan global yang menyebabkan naiknya permukaan laut akan menenggelamkan sejumlah tempat di dunia. Pakar Lingkungan Hidup Prof. Dr. Emil Salim di Banda Aceh mengatakan, sedikitnya 23 pulau tidak berpenghuni di Indonesia tenggelam dalam 10 tahun terakhir akibat pemanasan global. Tenggelamnya pulau-pulau kecil diperkirakan akan terus berlanjut, dan dikhawatirkan akan menenggelamkan pulau-pulau berpenghuni lainnya, salah satunya Jakarta.
Perubahan iklim juga akan menyebabkan pergeseran musim. Musim kemarau akan berlangsung lama dan dapat menyebabkan kekeringan, sehingga kebakaran hutan meningkat. Deputi VI Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pengembangan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Sudarjono mengatakan bahwa akibat tingginya tingkat kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun pada puluhan juta hektar areal hutan di Kalimantan, Indonesia menempati urutan keempat penyumbang pemanasan global saat ini. Kebakaran hutan akan menyebabkan gas CO yang berbahaya bagi manusia banyak terbentuk dan ikut masuk dalam saluran pernapasan manusia ketika sedang bernapas. Penumpukan gas CO dalam saluran pernapasan akan menyebabkan sesak nafas, sehingga mengganggu kesehatan.
Tidak hanya itu, pergeseran musim akan menyebabkan musim hujan datang lebih cepat dengan kecenderungan intensitas curah hujan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan banjir dan tanah longsor. Banjir merupakan luapan air yang melanda suatu daerah tertentu. Luapan air tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia, karena di dalamnya terdapat mikroorganisme penyebab penyakit, sehingga dapat menurunkan kualitas air dan terjadinya krisis persediaan makanan. Penurunan kualitas air dan krisis persediaan makanan menyebabkan timbulnya penyakit, seperti malaria, demam berdarah, dan diare. Dampak global warming berupa intensitas banjir yang semakin sering terjadi terbukti pada banjir tahunan yang terjadi di Jakarta. Bahkan, salah satu daerah dataran tinggi, Bogor terkena banjir. Menurut ISDR, jenis bencana yang paling sering terjadi dan meningkat adalah bencana Hydro-Meteorologis, yaitu bencana banjir. Walaupun faktor penyebabnya banyak, sedikit banyak global warming telah turut andil dalam peningkatan tersebut.
Melihat dampak yang dahsyat tersebut, pencegahan global warming sangat diperlukan. Pencegahan terbentuknya gas rumah kaca dalam proporsi yang banyak merupakan salah satu cara untuk mengurnagi laju kerusakan lapisan ozon. Kendaraan bermotor merupakan salah satu penyumbang yang secara kontinu dan simultan menghasilkan gas rumah kaca. Kendaraan bermotor yang mendominasi pada lingkungan bogor adalah angkutan perkotaan (angkot). Banyaknya angkot yang beroperasi, menjadikan Bogor terkenal dengan kota seribu angkot. Jumlah angkot yang terdata di Kantor Samsat Kota Bogor mencapai 5.383 unit hingga akhir tahun 2009. Jumlah yang tercatat di samsat tersebut belum ditambah dengan jumlah Angkutan Kota dalam Provinsi (AKDP) yang mencapai 4.000-an. Jadi, jumlah keseluruhan angkot di Kota Bogor mencapai 9.000-an. Bayangkan, sebanyak 9000 unit angkot beroperasi di kota bogor setiap harinya. Selain panjang ruas jalan akan tidak cukup untuk memberikan ruang bagi kelancaran proses transportasi, gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor khususnya angkot sangat banyak. Emisi kendaraan bermotor berupa nitrogen, karbon dioksida dan uap air bukan merupakan gas yang berbahaya namun selain dari gas-gas tersebut ternyata emisi kendaraan bermotor mengandung karbon monoksida (CO), senyawa hidrokarbon (HC), berbagai oksida nitrogen (NOx), oksida sulfur (SOx) dan partikulat debu termasuk timbal (Pb) (Hickman, 1999).. Gas kendaraan bermotor merupakan sumber polusi yang utama. Selain karena diproduksi setiap saat, produksinya semakin meningkat dan bersifat simultan. Padahal, Setiap liter bahan bakar yang dibakar akan mengemisikan sekitar 100 gram Karbon Monoksida; 30 gram Oksida Nitrogen; 2,5 Kg Karbon Dioksida dan berbagai senyawa lainnya termasuk senyawa sulfur (Hickman, 1999). Maka, jika setiap harinya terdapat setidaknya 5.000 unit angkot yang beroperasi perharinya, maka setiap harinya terbentuk 500.000 gr gas karbon monoksida, 150.000 gram Oksida nitrogen, dan 12.500.000 gram karbon dioksida perharinya. Angka fantastik tersebut hanya dikalkulasikan dari jumlah angkot di kota bogor. Betapa banyaknya gas rumah kaca yang terbentuk sementara penyerapnya tidak sebanding dengan yang dihasilkan. Penebangan hutan serta pembukaan lahan telah mengurangi drastis jumlah penyerap carbon dan penghasil oksigen. Hutan Indonesia berkurang seluas 300 kali lapangan bola setiap jamnya. Jika hal tersebut terus terjadi, peningkatan jumlah gas rumah kaca akan bergerak lurus secara eksponensial.
Masalah angkot, khususnya di kota bogor merupakan hal yang masih rumit layaknya benang kusut. Pemerintah sepatutnya memberikan perhatian yang khusus terhadap masalah ini. Terlalu banyaknya angkot menimbulkan masalah dari berbagai sisi. Dahulu angkot dibuat untuk mengurangi pengguna kendaraan pribadi yang secara logis dapat menghemat bahan bakar. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah, jumlah angkot sebaliknya mengakibatkan pemborosan bahan bakar. Jika dilihat, rata-rata satu unit angkot hanya berisi 4 penumpang untuk memutari satu trayek. Padahal satu trayek membutuhkan 1 Liter bahan bakar. Dan hal tersebut benar-benar pemborosan yang tidak kasat mata.
Pengaturan jumlah angkot sangat perlu dilakukan secara tegas oleh pemerintah daerah. Meningkatnya jumlah angkot yang beroperasi dapat disebabkan berbagai macam faktor. Kemudahan dalam mendapatkan izin operasi angkot merupakan salah satu faktor utamanya. Dengan berbekal uang muka yang terjangkau, seseorang dapat mengoperasikan angkotnya. Dalam hal ini, diperlukan peraturan yang ketat untuk dapat menyaring jumlah supir angkot.
Selain dari kemudahan dalam mendapatkan izin operasi, meningkatnya jumlah trayek angkot yang ada semakin menarik para penganggur untuk menjadi supir angkot-pekerjaan yang cukup mudah dibandingkan tidak bekerja sama sekali. Dalam hal ini, pemerintah daerah setempat perlu untuk melakukan pemotongan jumlah angkot yang beroperasi dan memberlakukan sistem shift. Hal tersebut dimaksudkan agar jumlah angkot yang beroperasi sebanding dengan jumlah penumpangnya. Jika diasumsikan satu angkot dapat menampung 10 penumpang, di mana pada pagi hari terdapat 200 penumpang, maka cukup memberlakukan setidaknya 10 unit angkot. Sebaiknya angkot memiliki halte pemberhentian layaknya bus dalam jangka waktu tertentu. Sehingga, selain dapat menertibkan lalu lintas, hal tersebut dapat turut juga meminimalisir gas rumah kaca yang diproduksi.
Jika dibandingkan dengan sistem transportasi negara maju, penggunaan transportasi umum bersifat efektif. Alat transportasi umum biasanya berukuran besar untuk menghemat bahan bakar serta efisien dalam mengangkut penumpang. Seperti yang terdapat di Australia, alat transportasi umum berupa bis bertingkat dua dengan kapasitas mencapai 80 penumpang sekali jalan. Bis biasanya selalu penuh dikarenakan ada sistem waktu pemberhentian yang digunakan. Selain itu salah satu alat transportasi umumnya adalah trem, yaitu sejenis kereta kabel yang berjalan di jalan raya dengan trayek tersendiri. Selain tidak menghasilkan emisi yang berarti, penggunaan trem ini sangat berperan dalam tertibnya pengguna jalan. Di Eropa, mayoritas menjadi pejalan kaki atau menggunakan sepeda sebagai alat transportasi jarak dekatnya. Sistem yang telah berlaku pada negara-negara maju seperti itu patut dicontoh oleh Indonesia. Masalah yang paling mendasar jika memotong jumlah angkot yang beroperasi adalah kurangnya lapangan pekerjaan. Hal inilah yang harus dipikirkan oleh pemerintah untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan skill masyarakat Indonesia terutama yang kurang mampu.
Sistem lalu lintas yang berantakan dapat menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca yang sangat besar. Hal tersebut dikarenakan sistem lalu lintas sekarang, terutama di Indonesia hampir semua menggunakan alat transportasi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, lalu lintas akan selalu hidup ketika pembangunan dan kehidupan masih berjalan. Gas emisi rumah kaca yang diproduksi akan terus berlanjut dan diproduksi secara simultan. Hal tersebut tidak diimbangi dengan bertambahnya pepohonan. Sehingga menjaga bumi dapat diterapkan dengan hal-hal kecil, seperti pengaturan sistem lalu lintas yang ada, mengurangi aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dan menggunakan alat-alat ramah lingkungan. Perbaikan sistem lalu lintas diharapkan dapat meminimalisir gas emisi rumah kaca yang diproduksi. Sehingga dampak negatif global warming dapat diminimalisir.

Tags: | 0 comments

0 comments:

Posting Komentar